TAHUKAH Anda survei pilkada itu perlu biaya dan tidak murah? Tahukah anda orang mendirikan lembaga survei untuk mencari keuntungan, bukan untuk jadi lembaga sosial?
Jika anda sudah paham dua pertanyaan sebelumnya, maka Anda tentu sudah tahu bahwa survei pilkada itu tepatnya berbayar. Siapa yang bayar? Tentu saja yang butuh data keterpilihan yaitu pasangan calon yang sedang mengikuti pilkada atau pemilu.
Kenapa butuh data?
1. Karena ingin tahu bakal menang atau tidak.
2. Kerena ingin tahu distribusi pemilih dirinya dan pemilih lawannya ada di mana saja.
3. Menciptakan persepsi dengan membangun opini dari data survei.
4. Menjadikan hasil survei sebagai acuan strategi kampanye.
5. Menjadikan informasi survei sebagai alat menarik donatur kampanye.
6. Mengelabui publik dengan mendorong opini yang seolah-olah merupakan aspirasi publik.
Tentu masih ada kemungkinan-kemungkinan lainnya, tapi mari kita fokuskan kepada poin 6, yaitu mengelabui publik karena inilah yang kerap terjadi. Kenapa kerap terjadi? Karena hasrat kekuasaan sang pasangan calon untuk menang memang sangat besar luar biasa.
Lazimnya, petahana yang sukses atau berprestasi pastilah hasil survei aktualnya sangat tinggi. Jika sebaran elektabilitasnya 60-80 persen, maka dapat dipastikan bahwa sang petahana adalah pasangan calon yang berhasil selama ini dan disukai oleh publik. Kalau begitu bagaimana jika petahana hanya disukai atau elektabilitasnya hanya 30-40 persen atau lebih buruk lagi hanya 20-30 persen? Maka dapat dipastikan bahwa sang petahana telah dinilai gagal. Tidak ada orang berhasil yang tidak disukai. Atau tidak ada orang berhasil yang hasil surveinya rendah.
Kalau anda perhatikan range survei elektabiltas Ahok, maka anda kerap melihatnya angkanya pada range 30-40 persen, bahkan dalam beberapa survei ada pada range 20-30 persen. Artinya apa? Artinya Ahok sudah selesai. Popularitas dan elektabilitasnya yang terus didengung-dengungkan tim sukses dan pedukungnya adalah palsu. Publik sudah dalam kesimpulan bahwa Ahok gagal mengurus Jakarta dan tidak layak dipilih.
Padahal itu hasil survei yang dirilis dengan berbagai kepentingan yang telah disampaikan di atas. Dari hasil survei ini sangat patut diduga popularitas dan elektabilitas Ahok tinggal 15-25 persen jika tidak dilakukan pendongkrakan angka. Artinya bahkan untuk lolos pada putaran pertama saja sudah tidak mungkin. Jadi yakinlah Ahok pasti kalah di putaran pertama. Jangan mau terjebak opini seolah-olah Ahok masih populer dan sangat mungkin menang satu putaran.
Satu-satunya kemungkinan Ahok lolos ke putaran kedua atau tampil sebagai pemenang adalah jika ada pihak yang mendukung melakukan kecurangan masif yang melibatkan banyak pihak. Dan itu sudah terlihat dalam rangkaian persiapan Pilkada Jakarta. Bagaimana blanko e-KTP yang setahun lalu katanya habis sehingga orang bisa memilih tanpa e-KTP. Lalu tiba-tiba akhir Januari 2017 datang kiriman e-KTP dengan kemasan seberat 67 kg dari Kamboja. Yang kabarnya chip-nya sudah teregistrasi pada data induk e-KTP. Kasus ini belum tuntas pengusutannya sementara pilkada tinggal menghitung jam.
Sikap KPU Jakarta yang berkesan anggap remeh atas pemutakhiran DPT juga menjadi tanda tanya. Ujug-ujug kini KPU dengan enteng menyatakan masyarakat perlu mengawasi. Tanpa pernah memberi sosialisasi bagaimana SOP dan peran KPU untuk merespon jika ada kecurangan. Pilkada tinggal besok sementara koreksi data dari warga saat pengambilan surat panggilan terus bermunculan.
Demikian pula Panwaslu Jakarta yang memiliki cara kerja yang aneh. Seolah-olah tugas mereka adalah menerima laporan bukan mengawasi secara langsung semua proses pilkada. Berbagai kasus yang terang benderang menjadi viral di sosial media yang termasuk kategori pelanggaran kampanye mereka seperti tidak meresponnya.
Kejanggalan lain datang dari Kapolda Metro Jaya yang mengimbau agar warga tidak perlu ikut mengawasi di TPS. Ini aneh luar biasa. Polri yang dalam pelaksanaan tugasnya kerap berkata tentang keterbatasan aparat dan berharap partisipasi publik, justru kali ini menghimbau agar partisipasi itu jangan muncul.
Puncaknya kita melihat bagaimana Mendagri yang bekerja sebagai Pembantu Presiden bertindak melanggar hukum dengan mengangkat kembali Ahok sebagai pemangku jabatan gubernur padahal dalam status terdakwa yang didakwa dengan ancaman hukuman lima tahun.
Semua kejanggalan-kejanggalan ini menjurus kepada ketidakpatutan dan berpotensi kepada pembiaran yang sangat memungkinkan terjadinya kecurangan pada Pilkada Jakarta 2017. Lalu bagaimana jika usaha kecurangan itu memang terjadi? Siapa yang bertanggungjawab?
Daripada menunggu apakah kecurangan terjadi atau tidak, tidak ada pilihan lain bagi warga Jakarta dan warga Jabodetabek yang sehari-hari berurusan di Jakarta, yaitu Kawal Pilkada Jakarta 2017. Kawal sekuat-kuatnya. Anda tidak perlu menjadi bagian lembaga atau organisasi apapun. Yang perlu anda lakukan adalah memantau setiap TPS terdekat untuk memastikan tidak ada kecurangan oleh panitia, pemilih, dan aparat.
Kumpulkan semua kejadian apapun pada setiap TPS. Pastikan anda punya bukti-bukti foto, video atau bukti fisik. Lakukan kerjasama dengan semua warga dan saksi dari pasangan calon. Mari kita jaga Demokrasi Pancasila ini agar tidak menyimpang dari tujuan awalnya yaitu memberikan terjadinya hak atas pemilu yang bersih, jujur dan adil. Selamat Berdemokrasi!
Penulis adalah Alumni ITB, Mantan Aktivis Mahasiswa, Pemerhati Politik Nasional
No comments:
Post a Comment